Dalam
mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini,
al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus.
Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana
kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat)
dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya
akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda
mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu
keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan
diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan
kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta.
Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia. [1]
b. Cinta terwujud
sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens
pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka
semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar
kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka
semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan
kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan
kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan
dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata
hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada
kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta
terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama
yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya.
Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan
membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya
al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan
tumbuhnya cinta.[2]
Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta
sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah
sebagai berikut:
1) Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan,
dan keberlangsungan hidup
Orang yang
mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak
memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung
kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan
kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan
oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat
ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta
kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka
semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
2) Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya,
setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan
watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun
pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah
sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh
seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi
maupun motif ukhrawi.
Untuk motif
duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas.
Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas,
karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya,
ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan
mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan
ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan
sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik
tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih
berdasarkan perintah Allah.
Ketika
kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada
kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada
makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan
agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan
meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk
tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak
dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang
yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha
Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung
jumlahnya.
3) Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun
kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai
kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang
mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang
yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung.
Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si
rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya,
seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski
sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun
pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena
bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski
seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan
seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai.
Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita
namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung
dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
4) Cinta kepada
setiap keindahan
Segala yang
indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang
indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun
keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam
Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu
apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak.
Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang
bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat
lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan
batiniah relatif lebih kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar