Rabu, 11 November 2015

multikulturalisme



MULTIKULTURALISME
Definisi
            Apabila ditelusuri ke berbagai sumber, istilah multikulturalisme sama halnya dengan istilah plurasime dan pluralism agama, yang mengandung arti beragam, salah satu diantaranya adalah sebuah konsep yang menunjuk kepada suatu pengakuan, penerimaan dan sikap terhadap keanekaragaman suatu bangsa,suku maupun kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural).[1]
            Tidak mudah menarik benang merah anatara definisi tersebut, meskipun tema yang diusung banyak kesamaan , tetapi juga memiliki pesan dan makna yang berbeda. Perbedaan definisi tersebut adalah disebabkan oleh perbedaan cara pandang pada setiap perumus definisi  tersebut dan pesan yang ingin disampaikan.
            Rentang definisi multikulturalisme dapat digambarkan mulai pengakuan terhadap realitas multikulturalisme masyarakat dunia sekarang ini, upaya menerima dan menghormati realitas, hingga definisi yang merefleksikan relativisme kebenaran.
Menurut  Bikhu Parekh, multikulturalisme adalah satu kumpulan tentang keyakinan dan praktek yang dijalankanoleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri mereka sendiri dan dunianya, serta mengatur kehidupan individual dan kolektif mereka. Suatu masyarakat disebut multicultural jika di dalamnya ada tiga cirri-ciri umum, yakni :

a.       Keanekaragaman subkultural
b.      Keanekaragaman perspektif
c.       Keanekaragaman komunal[2]

Menurut Robert W. Hefner, multikulturalisme dimaksudkan agar dimasukkannya kelompok marjinal dan tidak diuntungkan, termasuk komunitas religious ke dalam kehidupan publik.
Para pengkaji multikulturalisme di Indonesia, biasanya membedakan konsep “pluralism” dengan  “multikulturalisme”. Definisi sosiologis pluralism dalam konteks Indonesia lebih sering dikonotasikan kepada multikulturalisme agama sehingga pengertiannya lebih mengarah pada pluralisme agama. Konsep multikulturalisme lebih menekankan pada penghargaan atas keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Rumusan definisi pendidikan multikultural muncul beramaan dengan berkembangnya konsep multikulturalisme. Konsep multicultural muncul pada tahun 1960-an,  mengalami perubahan terus menerus dalam teori prakteknya.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah sistem pendidikan yang memperhatikan dan menghargai keragaman kultural serta menjadikan semua  keragaman cultural yang ada dalam lingkungan pendidikan sebagai aset dan potensi yang mendukung kea rah tercapainya tujuan pendidikan.



         [1] Truna,Dadi S,Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme,Kementrian Agama RI,Desember 2010, hlm. 64.
         [2] Ibid, hlm.65.

Selasa, 10 November 2015

I'jazul Qur'an

Pengertian I’jazul Qur’an
I’jaz  jika  dilihat  dari  segi  bahasa  berasal  dari  kata  (عَجِزَ- يَعْجِزُ)  yang  artinya  menetapkan  kelemahan.  Kelemahan  menurut  pengertian  umum  ialah  ketidakmampuan  mengerjakan  sesuatu,  lawan  dari (قدرة)  (potensi,  power,  kemampuan).  Apabila  kemukjizatan  muncul,  maka  nampaklah  kemampuan  mu’jiz (sesuatu yang melemahkan).
Jadi,  yang  dimaksud  I’jaz  dalam  pembahasan  ini  ialah  menampakkan  kebenaran  Nabi  dalam  pengakuannya  sebagai  seorang  Rasul,  dengan  menampakkan  kelemahan  orang  Arab  untuk  menghadapi  mukjizatnya  yang  abadi,  yaitu  Al-Qur’an,  dan  kelemahan  generasi-generasi  sesudah  mereka  dan  mukjizat  adalah  sesuatu  hal  luar  biasa  yang  disertai  tantangan  dan  selamat  dari  perlawanan.[1]
Sudah banyak keyakinan bagi umat manusia bahwa setiap nabi yang di utus oleh Allah untuk menyampaikan syariat yang dibawanya adalah dibekali dengan suatu mu’jizat yang sangat mendukung kebenarannya. Demikian pula dengan nabi Muhammad saw yang membawa syariat agama islam untuk sepanjang zaman, seperti memancarnya air dari celah jari jemarinya, peristiwa isra’mi’raj yang sangat menggemparkan penduuk kota Mekah, yang dalam peristiwa ini mendapatkan tugas langsung dari Allah untuk mengerjakan shalat lima waktu.
Tetapi, dari ke sekian banyaknya mu’jizat dari nabi Muhammad saw maka  Al-Qurán lah sebagai mu’jizat yang terbesar, yang memiliki sifat rasional, yang berlaku untuk seluruh umat manusia, dan ditetapkan sebagai pedoman manusia sepanjang hidupnya, dimana dan kapan saja adanya. Al-Qurán sebagai suatu mukjizat tidak hanya menjadi bahan bacaan meskipun membacanya akan mendpat pahala, melainkan juga untuk dipahami, dihayati, dipedomani, diamalkan, dan diselidiki rahasia kebenarannya.[2]
Al-Qurán sebagai mukjizat yang terbesar diturunkan dengan menggunakan susunan bahasa yang sangat tinggi nilai kesusastraannya. Bahasa yang dapat mengungguli segala bentuk susunan bahasa kesusastraan apapun. Al-Qurán bukan merupakan kumpulan prosa, puisi, sajak maupun lainnya. Susunan bahasa Al-Qurán digubah menurut keindahan bahasa ilahiah, yang mengagumkan setiap orang yang membaca dan mendengarkannya, bahasa yang secara terpadu harmonis dengan isi maknanya.
Allah sengaja mewahyukan Al-Qurán yang menjadi bekal mukjizat nabi Muhammad dengan mempergunakan bahasa arab, bahasa dari penduduk dunia yang paling tinggi pada masa itu, agar mereka membaca, memahami, dan melaksanakan petunjuk-petunjuk-Nya serta rela meninggalkan semua larangan yang di tetapkan-Nya, karena bangsa Arab pada masa itu telah terbiasa mendengarkan dan menghayati susunan bahasa sastra yang tinggi dari karya gubahan para penyair atau susunan para orator yang masyhur. Disamping itu juga mereka dapat mengetahui dan menjadi peringatan agar dipikirkan bahwa Al-Qurán disusun dengan menggunakan bahasa sastra yang mengungguli susunan bahasa yang biasa dipergunakan oleh para penyair dan orator yang telah termasyhur dari kalangan mereka.[3]
Ketinggian dan keunggulan susunan bahasa Al-Qurán yang menjadi mukjizat kerosulan Nabi Muhammad saw sejak turun pertama kali tidak ada seorangpun yang sanggup meniru gubahannya, apalagi hendak menandinginya. Oleh karena itu Al-Qurán harus dipamerkan kepada orang-orang yang tidak mau percaya kepada Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw.
Dari sekian jumlah penyair yang dianggap bermutu dan orator yang berbobot, mereka banyak yang mengingkari pada kerasulan Nabi Muhammad saw, bahkan mereka ada yang menuduh gila, tukang sihir, tukang tenung dan sebagainya. Sehingga tidak ada alasan yang kuat bagi Nabi Muhammad saw untuk mengembalikan tuduhan-tuduhan mereka itu, kecuali dengan mengajukan tantangan yang tepat kepada mereka, agar mereka bersedia untuk mengemukakan suatu karya sastra yang bisa menyamai susunan bahasa Al-Qurán, sekalipun itu surat yang terpendek. Tantangan tersebut dikemukakan bagi siapa saja yang masih meragukan keindahan gubahan bahasa ilahiah dan masih meragukan kebenaran mukjizat Al-Qurán yang menjadi bukti kemukjizatan dari kerasulan Nabi Muhammad saw.[4]
Rasulullah  menantang  orang-orang  Arab  untuk  menandingi  Al Qur’an  dalam  tiga  hal:
1.      Menantang  dengan  seluruh  al  Qur’an  dalam  semua  uslub  umum  yang  meliputi  Arab  sendiri  dan  orang  lain,  manusia  dengan  jin,  dengan  tantangan  yang  mengalahkan  kemampuan  mereka  secara  padu  melalui  firman-Nya:
“Katakanlah:  Sesungguhnya  jika  manusia  dan  jin  berkumpul  untuk  membuat  yang  serupa  dengan  Al  Qur’an  ini,  niscaya  mereka  tidak  akan  dapat  membuat  yang  serupa  dengannya,  sekalipun  sebagian  mereka  menjadi  pembantu  bagi  sebagian  yang  lain.”  QS  Al  Isra’ 17:88
2.      Menantang  mereka  dengan  10  surah  saja  dari  Al  Qur’an  dalam  firman-Nya  QS  Al  Hud  11:13-14
3.      Menantang  mereka  dengan  1  surah  saja  dari  Al  Qur’an  dalam  firman-Nya  QS  Yunus  10:38,   tantangan  ini  diulanglagi  dalam  QS  Al  Baqarah  2:23
Dengan  tantangan  ini  berarti  kapasitas  kemukjizatan  Al-Qur’an  itu  hanya  satu  surah  saja,  artinya  kadar yang  menjadi  mukjizat  dari  Al-Qur’an  adalah  walaupun  hanya  satu  surah  sudah  mu’jiz,  sudah  tidak  ada  yang  sanggup  melawan  dengan  membuat  tandingan  dari  dulu  sampai  sekarang.  Karena  tantangan  minim  inipun  tidak  ada  yang  mampu  melawan,  maka  surat  Al-Baqarah  ayat  24  itu  menegaskan:  “tidak  ada  seorang  pun  yang  sanggup  melawan  Al-Qur’an,  karena  itu  bagi  orang  yang  inkar  diharuskan  waspada  terhadap  ancaman  neraka.”[5]
Pandangan  para  tokoh  tentang  kemukjizatan  Al  Qur’an
·         Abu  Ishaq  Ibrahim  an  Nizam
Kemukjizatan  Al  Qur’an  adalah  dengan  cara  sirfah  (pemalingan).
Pendapat  tentang  sirfah  ini  batil  dan  ditolak  oleh  Al  Qur’an  (QS  Al  Isra’  17:88).
·         Golongan  umat
Qur’an  itu  mukjizat  dengan  balaghahnya  yang  mencapai  tingkat  tinggi  dan  tidak  ada  bandingannya.
·         Segi  kemukjizatan  itu  karena  ia  mengandung  badi’  yang  unik  dan  berbeda  dengan  pandangan  orang  Arab,  seperti  fashilah  dan  maqta’.
·         Kemukjizatan  Al  Qur’an  terletak  pada  pemberitaannya  tentang  hal  ghaib  yang  akan  datang  yang  tak  dapat  diketahui  kecuali  dengan  wahyu.
Ex:  tentang  penduduk Badar      “Golongan  itu  pasti  akan  dikalahkan  dan  mereka  akan  mundur  ke  belakang”.  (al  Qamar  54:45)
Pendapat  golongan  ini  tidak  dapat  diterima  dikarenakan  ia  menuntut  ayat-ayat  yang  tidak  mengandung  berita  tentang  hal  gaib  yang  akan  datang  dan  yang  lalu,  tidak  mengandung  mukjizat.  Dan  ini  adalah   batil,  sebab  Allah  menjadikan  setiap  surat  sebagai  mukjizat  tersendiri.[6]
·           Qur’an  itu  mukjizat  karena  ia  mengandung  bermacam-macam  ilmu  dan  hikmah  yang  sangat  dalam.


[1] Mana’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Islam, hlm. 371.
[2] Drs. Moh. Cadziq Charisma, Tiga Aspek Kemukjizatan Al Qur’an, hlm. 14.
[3] Ibid, hlm. 17.
[4] Ibid, hlm 20
[5] Googleweblight.com, 10-09-2015, 19:00
[6] Al Burhan, oleh Zarkasyi, jilid 2, halaman 95-96