Kamis, 01 Juni 2017

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK



HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERKEMBANGAN DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK
arvianita558@gmail.com
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

LATAR BELAKANG
 Keluarga merupakan lembaga pendidikan informal yang diakui keberadaannya dalam dunia pendidikan. Peranannya tidak kalah penting dari lembaga formal dan non formal. Orang tua merupakan guru pertama yang dikenal oleh anak. Kepribadian, cara bicara, cara berpakaian, dan gaya hidup selalu menjadi panutan anaka-anaknya. Maka, orang tua merupakan model yang selalu menjadi idola oleh anak-anaknya. Pola Asuh (Parenting Style) adalah cara orang tua mendidik anak-anaknya yang dapat mempengaruhi kepribadian anaknya secara signifikan.[1] Macam-macam pola asuh orang tua yang kita kenal di masyarakat ada tiga, yaitu pola asuh Otoriter, pola asuh Demokratis, dan pola asuh Permisif.
Pola asuh orang tua tentu sangat berpengaruh terhadap perilaku anak, baik di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat. Dalam belajar di sekolah, sikap anak berbeda-beda. Tentu saja semua dipengaruhi oleh sifat dan sikap bawaan anak dari rumah yang ditanamkan oleh orang tua.
Perilaku dalam diri anak berhubungan dengan kedewasaan yang berhubungan dengan perkembangan, perkembangan dalam kedewasaan disini memiliki dua artian yaitu kedewasaan dalam berfikir dan kedewasaan pencapaian umur. Anak yang berumur satu tahun lebih tua belum tentu memiliki pola pikir yang lebih dewasa dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda, begitu juga sebaliknya. Kedewasaan berhubungan dengan perkembangan, dan perkembangan itu sendiri merupakan suatu perubahan kearah yang lebih maju dan lebih dewasa.
Masing-masing anak memiliki loncatan dan kelambatan pada jenis usia perkembangan yang berbeda. Bagi anak yang hidup di dalam lingkungan yang baik dan teratur maka perkembangannya akan melalui proses umum, sehingga tiap-tiap usia perkembangan dapat masak pada waktunya. Akan tetapi tidak semua peserta didik hidup dalam lingkungan yang demikian. Kenyataanya kehidupan yang dialami oleh masing-masing anak sangat kompleks, maka banyak terjadi ketidaksamaan dari usia-usia perkembangan tersebut.

TUJUAN PENELITIAN
1.    Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak
2.    Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku anak


KAJIAN TEORI
Perkembangan
Perkembangan ialah perubahan-perubahan psiko-fisik sebagi hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam kurun waktu tertentu untuk menuju kedewasaan.[2]

Pola Asuh Orang Tua
Menurut Ahmad Tafsir “Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[3]
Pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, dimana orang tua yang memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat dan berorientasi untuk sukses.[4]
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
Pola asuh yang dikenal dalam masyarakat ada 3 yakni:
1.    Pola asuh otoriter, yaitu pola asuh yang menegaskan akan kekuasaan orang tua di dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua menerapkan peraturan tegas dengan sanksi-sanksi, dan anak wajib patuh. Anak sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh haknya.[5] Ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:[6]
a.    Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
b.    Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.
c.    Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak.
d.   Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang.
e.    Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
f.     Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.
g.    Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
2.    Pola asuh demokratis, yaitu pola asuh yang menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam keluarga. Anak dihargai haknya oleh orang tua, dan orang tua menerapkan peraturan-peraturan yang dipatuhi anak selama tidak memberatkan anak.[7] Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut: [8]
a.    Menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak.
b.    Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di tinggalkan.
c.    Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian.
d.   Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga.
e.    Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.
3.    Pola asuh permisif, yaitu pola asuh yang menerapkan kebebasan. Dalam pola asuh ini anak berhak menentukan apa yang akan ia lakukan dan orang tua memberikan fasilitas sesuai kemauan anak. [9] Ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut: [10]
a.    Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya.
b.    Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh.
c.    Mengutamakan kebutuhan material saja.
d.   Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua).
e.    Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga.

METODE PENELITAN
Tempat dan Waktu Penelitian
  1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di desa Basin, Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah
  1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada hari Kamis, 25 Mei 2017

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan angket/kuesioner yaitu untuk mendapatkan data/fakta tentang variabel penelitian sesuai yang diketahui responden.
Angket/kuesioner disebut juga instrumen penelitian. Instrurnen penelitian, adalah berisi butir-butir pertanyaan yang mengungkap gambaran tentang perumusan pertanyaan dalam angket kuisioner pengaruh pola asuh orang tua dan angket kuisioner karakteristik anak.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diperoleh data:
1.    Banyaknya responden adalah 12 orang.
2.    Dari 12 orang responden didapatkan hasil:
a.    Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter adalah sebanyak 64,58%
b.    Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis adalah sebanyak 80,20%
c.    Orang tua yang menerapkan pola asuh permisif adalah sebanyak 59, 63%
d.   Karakteristik anak dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan presentase sebanyak 51.02%
Hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak
Hasil menunjukkan bahwa tidak semua orang tua menerapkan pola asuh yang sama terhadap anak mereka. Dalam artian setiap responden memiliki pola asuh yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Sehingga perkembangan anak yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda pula. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan dengan baik maka perkembangan anak menjadi bagus. Sebaliknya jika anak tumbuh di lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan dengan buruk maka perkembangan anak menjadi lemah atau tidak sebaik perkembangan anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang bagus.
Latar keluarga, kondisi emosi dan suasana rumah yang berbeda, dengan sendirinya akan mempengaruhi tingkat perkembangan anak. Jadi pola asuh orang tua mempunyai peranan penting dalam keberhasilan perkembangan anak.

Hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku anak
Setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki depresi yang lebih tinggi. Orangtua dengan pola asuh demokratis cenderung menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, rasa ingin tahu yang besar, kreatif, percaya diri, cerdas, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormari orangtua, berprestasi baik, dan dapat berkomunikasi baik dengan lingkungan sekitar. Sementara pola asuh permisif cenderung pada apa ynag dilakukan anak diperbolehkan orang tua dan orang tua juga menuruti segala keinginan anak. Sehingga pola asuh ini cenderung menjadikan anak lebih terlihat manja karena apa yang diinginkan anak dapat terpenuhi.

KESIMPULAN
  1. Orang tua memiliki peranan penting terhadap perkembangan anak. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan dengan baik maka perkembangan anak menjadi bagus. Sebaliknya jika anak tumbuh di lingkungan keluarga yang mendukung perkembangan dengan buruk maka perkembangan anak menjadi lemah atau tidak sebaik perkembangan anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang bagus.
  2. Pola asuh orang tua yang dikenal di masyarakat ada 3 yakni pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Ketiga pola asuh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku siswa baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat. Pola asuh otoriter menjadikan perilaku anak cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada orang lain, serta memiliki depresi yang lebih tinggi. Pola asuh demokratis cenderung menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, rasa ingin tahu yang besar, kreatif, percaya diri, cerdas, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormari orangtua, berprestasi baik, dan dapat berkomunikasi baik dengan lingkungan sekitar. Sedangkan pola asuh permisif cenderung menjadikan anak lebih terlihat manja.

DAFTAR PUSTAKA
Efendhi, Fahrizal. 2014. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Dalam Belajar Siswa, Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling. IKIP Veteran Semarang.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan 2. Jakarta: PT Grasindo.
Irwanto, Danny I. Yatim. 1991. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarta: Arcan
Latipah, Eva. 2012. Pengantar Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pedagogia
Kartono, Kartini. 1985. Peran Keluarga Membentuk Anak. Jakarta: Rajawali
Tridhonanto, Al dan Beranda Agency. 2014. Mengembangkan Pola Asuh Demokratis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo


[1] Eva Latipah, Pengantar Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pedagogia, 2012), hlm. 237.
[2] Kartini Kartono, Peran Keluarga Membentuk Anak, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 20.
[3] Danny I. Yatim Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta: Arcan, 1991), hlm. 94.
[4] Al Tridhonanto dan Beranda Agency, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), hlm. 5.
[5] Fahrizal Efendhi, Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Dalam Belajar Siswa, Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling, IKIP Veteran Semarang, 2014.
[6] Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 2, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hlm. 88.
[7] Fahrizal Efendhi, Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Dalam Belajar Siswa, Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling, IKIP Veteran Semarang, 2014.
[8] Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 2, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hlm. 87.
[9] Fahrizal Efendhi, Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Dalam Belajar Siswa, Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling, IKIP Veteran Semarang, 2014.
[10] Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 2, (Jakarta: PT Grasindo, 1992), hlm. 89.

EMPTY OUTLINE: ALTERNATIF MENINGKATKAN DAYA INGAT ANAK


EMPTY OUTLINE: ALTERNATIF MENINGKATKAN DAYA INGAT ANAK
Oleh: Arvianita
arvianita558@gmail.com
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

ABSTRAK
Daya ingat anak usia dini masih sangat kuat. Namun, dalam proses pembelajaran di sekolah terkadang guru lupa untuk memaksimalkan daya ingat anak dengan baik. Sebagian guru masih mengajarkan pelajaran dengan metode ceramah, dan masih menganggap siswa-siswinya sebagai gelas kosong yang harus diisi air hingga penuh. Metode ini bukanlah metode yang tepat, sebab siswa akan merasa terkekang dan tidak bisa mengembangkan kreatifitas serta potensinya.
Berangkat dari permasalahan tersebut, penulis mencoba menggali pemakaian strategi Empty Outline. Dengan strategi ini diharapkan siswa mampu memaksimalkan daya ingat sehingga terjadi peningkatan hasil belajar. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Anni Rohmahwati dan Entri Nilpida. Dari penelitian Anni dan Entri menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat setelah guru melakukan perbaikan pengajaran menggunaan strategi Empty Outline.

Kata Kunci: Daya Ingat, Guru, Empty Outline

ABSTRACK
Early chilhood memory is still very strong. However, in the learning process at school teachers sometimes forget to maximize your child’s memory well. Some teachers still teach lessons with lectures, and still considers its students as empty glasses to be filled with water to the brin. This method is not the right method, because students will feel constrained and can not develop creativity and potential.
Departing from this problems, the author tries to explore the use of strategy Empty Outline. This strategy is expected that students are able to maximize memory so that an increase learning outcomes. This statement is reinforced by research conducted by Anni Rohmahwati and Entri Nilpida. From research conducted Anni and Entri indicates that increased students learning outcomes after teacher improvement teaching strategy Empty Outline.

Keywords: Memory, Teaching, Empty Outline

PENDAHULUAN
Persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Salah satunya adalah dengan pembaruan kurikulum. Selain itu, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya. Proses pembelajaran di dalam kelas selalu diarahkan kepada anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut memahami informasi yang diingat itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.[1]
Menghafal merupakan hal yang sering dianggap menjadi momok dalam setiap mata pelajaran. Hal ini disebabkan sulitnya memahami materi-materi didalamnya sedangkan dalam kenyataannya, banyak anak-anak umur SD lebih mudah dalam menghafal lagu-lagu dewasa ketimbang materi pelajaran. Selain itu, mereka beranggapan bahwa musik lebih menyenangkan dan tidak memerlukan waktu lama dan usaha yang susah agar mereka bisa hafal. Pada usia SD inilah anak-anak mampu mengingat dengan mudah. Namun tidak semua hal dapat mereka ingat, hanya hal yang mampu menyentuh emosi dengan baik saja yang mampu mereka ingat dalam waktu lama.
Guru mempunyai tugas bagi berkembangnya minat membaca dan menghafal siswa sehingga para guru harus membentuk barisan agar anak mudah mengingat apa yang telah dipelajarinya selama pembelajaran berlangsung. Hal terpenting yang harus diperhatikan guru adalah bagaimana menanamkan materi pelajaran agar menjadi bermakna, berkesan dan menyenangkan bagi siswa-siswinya. Pembelajaran yang menyenangkan yakni pembelajaran yang dapat dilakukan dengan cara melibatkan langsung peserta didik aktif dalam pembelajaran.
Terciptanya pembelajaran yang aktif tidak dapat terlepas dari media pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Metode ceramah merupakan metode yang dianggap efektif bagi kebanyakan guru karena mereka selalu beranggapan bahwa siswa-siswinya merupakan gelas kosong yang harus diisi air agar menjadi penuh. Namun pemikiran dari guru ini salah, bahwasannya guru seharusnya melibatkan kreatifitas siswa dan juga keaktifannya dalam menerima pelajaran.
Proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah membutuhkan kemampuan guru merancang dan menerapkan strategi pembelajaran yang menyenangkan. Strategi yang dipilih guru seharusnya lebih kreatif dan inovatif. Metode dalam penyampaian materipun seharusnya melibatkan siswa secara langsung, tidak hanya mengandalkan metode ceramah (pembelajaran satu arah). Semangat belajar akan muncul ketika suasana begitu menyenangkan dan belajar akan efektif bila seseorang dalam keadaan gembira.[2]
Berdasarkan masalah tersebut, maka perlu diterapkan strategi pembelajaran aktif. Salah satu strategi pembelajaran aktif yaitu strategi Empty Outline. Empty Outline merupakan salah satu cara untuk membuat pembelajaran melekat dalam pikiran siswa. Dengan penerapan strategi ini diharapkan siswa lebih aktif dan serius dalam mengikuti pelajaran sehingga hasil belajarnya akan meningkat dan anak lebih bisa memahami materi pelajaran. Strategi Empty Outline dapat menciptakan keaktifan belajar siswa sehingga dengan keaktifan belajar tersebut hasil belajar bisa meningkat dan melekat pada pikiran siswa
Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk membahas tentang bagaimana pengaruh Empty Outline dalam meningkatkan daya ingat.

KAJIAN TEORI
A.  Empty Outline
1.    Pengertian Empty Outline
Empty Outline yaitu strategi yang berbentuk baris-baris kosong yang membantu siswa untuk menyebut ulang materi pelajaran dengan mengisi atau melengkapi baris-baris kosong.[3] Menurut Anni Empty Outline adalah metode yang dikembangkan untuk memicu sikap aktif siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa mempunyai peran pada hakikat yang sebenarnya yakni sebagai subyek belajar.[4]
Empty Outline ini berfungsi untuk mengevaluasi ingatan dan tingkat pemahaman siswa dalam mengikuti pelajaran. Metode ini berbentuk garis-garis kosong yang membantu siswa menyebut ulang atau menyusun butir-butir  konsep atau materi pelajaran dengan mengisi atau melengkapi garis-garis kosong. Pada sisi lain, strategi ini dapat membantu guru mengetahui sejauh mana siswa ingat terhadap materi yang telah diajarkan.
2.    Kelebihan Empty Outline
Kelebihan dari strategi Empty Outline dalam pembelajaran adalah:[5]
a.    Metode ini sangat cocok untuk materi-materi yang mengandung fakta-fakta, sila-sila, rukun-rukun, dan prinsip-prinsip,
b.    Penggunaan teknik ini banyak berhasil untuk mata pelajaran pengantar seperti ilmu alam, keperawatan, seni, sejarah, dan musik,
c.    Metode ini dapat digunakan untuk permulaan ataupun kesimpulan dalam menyampaikan materi,
d.   Baik untuk tugas pekerjaan rumah tentang materi yang bersifat relatif ringan,
e.    Baik untuk memulai metode apresepsi sehingga peserta didik lebih cepat terfokus pada materi pelajaran,
f.     Baik untuk kuis atau ulangan harian.
3.    Tujuan Empty Outline
Tujuan dari strategi Empty Outline adalah:[6]
a.    Untuk memahami langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah,
b.    Meningkatkan kemampuan mendengar dan menyimak,
c.    Mengembangkan kecakapan belajar, strstegi dan kebiasaan-kebiasaan,
d.   Mempelajari fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan.
B.  Daya Ingat
1.    Pengertian Daya Ingat
Ingatan (memory) adalah penyimpanan informasi atau pengalaman seiring dengan berjalannya waktu.[7] Abu Ahmadi menyatakan bahwa ingatan adalah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan mereproduksikan pesan-pesan.[8] Makmur Maradona berpendapat bahwa daya ingat adalah kemampuan seseorang menyimpan memori dan memanggil kembali ingatan itu pada saat tepat ketika sedang dibutuhkan. Sedangkan menurut Aisha daya ingat adalah kesanggupan otak menyimpan memori yang diterima dari indera dan disimpan dalam jangka waktu tertentu.[9] Menurut kamus lengkap Psikologi daya ingat adalah fungsi yang terlibat dalam mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu.[10]
Dapat disimpulkan bahwa daya ingat merupakan kemampuan seseorang untuk memanggil kembali informasi yang telah dipelajarinya dan yang telah disimpan dalam otak. Daya ingat seseorang tidak terlepas dari kemampuan otaknya untuk menyimpan informasi. Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia, berarti ada suatu indikasi bahwa manusia mampu menyimpan dan menimbulkan kembali sesuatu yang pernah dialami. Namun demikian, tidak biasa dipungkiri bahwa apa yang pernah dialami itu akan tetap tinggal dalam ingatan, karena ingatan merupakan kemampuan yang terbatas.
2.    Proses Memori Bekerja
Kapadia berpendapat bahwa daya ingat bekerja dalam 4 tahap yaitu: a. Daya ingat mengenali sesuatu, b. Kesan tinggal didaya ingat, c. Daya ingat menyimpan kesan, d. Daya ingat menyimpan apa yang perlu disimpan. Lima indera akan membantu seseorang mengalami sesuatu, kesan yang ditinggalkan dalam benak disebut dengan daya ingat. Seseorang mengenali sesuatu dengan satu atau dua indera yang saling bekerja sama.[11]
Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh berpendapat bahwa perkembangan daya ingat anak akan bersifat tetap saat anak berusia kurang lebih 4 tahun, lalu akan mencapai intensitas terbaik saat anak berusia kurang lebih 8-12 tahun. Pada saat itu daya menghafal dapat memuat banyak materi, sehingga daya ingat anak usia dini penting untuk bisa dioptimalkan.[12]
3.    Jenis-jenis Daya Ingat
Kapadia mengelompokkan daya ingat menjadi tiga jenis, yaitu:[13]
a.    Daya ingat sensorik, yaitu ingatan berada di otak selama tidak lebih dari satu detik,
b.    Daya ingat jangka pendek, yaitu ingatan akan berada di dalam otak dalam jangka waktu yang singkat,
c.    Daya ingat jangka panjang, yaitu ingatan berada di otak untuk waktu ynag lebih lama.
Bimo Walgito berpendapat bahwa perbedaan antara ketiga macam ingatan terletak pada waktu masuknya stimulus untuk dipersepsi yang ditimbulkannya kembali sebagai memori out put. Waktu antara pemasukan stimulus dan penimbulan kembali sebagai memori out put, apabila berjarak antara 20-30 detik merupakan short term memory, selebihnya merupakan long term memory. Sedangkan sensory memory waktunya lebih pendek, yakni kira-kira 1 detik.[14]

PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai daya ingat tentu akan membahas tentang otak yang luar biasa. Otak manusia mengandung sel saraf (neuron) sebanyak 10-100 miliar yang membentuk sebuah sistem. Sistem saraf adalah sebuah sistem organ yang mengandung jaringan sel-sel yang disebut neuron yang mengkoordinasikan tindakan dan mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuh manusia.[15] Ada sekitar 100 jenis neuron yang berbeda yang memiliki fungsi masing-masing. Neuron memiliki bentuk seperti sebuah pohon yang memiliki akar (dendrit), tubuh sel (soma), dahan (akson), dan cabang (ujung akson). Setiap neuron menerima input ke dendrit yang dapat menstimulasi atau menyimpannya.[16]
Islam mempunyai perhatian yang besar terhadap daya ingat, salah satunya terdapat dalam Q.S Ali Imran ayat 190-191 yang artinya “Sesungguhnya dalam menciptakan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dalam pembahasan ini, daya ingat yang dimaksud adalah anak dapat menangkap informasi yang dijelaskan oleh guru, kemudian menyimpan informasi tersebut dalam otak, lalu menimbulkan kembali. Informasi yang ditimbulkan kembali tidak harus berupa anak mampu menghafal materi-materi yang telah dijelaskan oleh guru, namun berupa lembar tugas. Produk yang dihasilkan anak dalam penelitian ini adalah hasil karya anak yaitu dari lembar tugas dengan mengingat melalui Empty Outline (garis-garis kosong) yang dijelaskan oleh guru.
Anak-anak memiliki keistimewaan dalam hal kekuatan untuk mengingat dan menghafal, karena kebersihan hati dan perkembangan kecerdasan yang cepat. Oleh karena itu, pendidikan pada masa kanak-kanak lebih cepat terserap dibanding pengajaran pada masa selanjutnya. Ibnu khaldun mengatakan bahwa pendidikan pada masa kanak-kanak lebih bermakna dan meresap, sekaligus sebagai fondasi pada pendididkan selanjutnya.[17]
Peserta didik pada usia sekolah dasar memasuki masa operasional konkrit, masa ini merupakan masa krisis anak, dimana pada waktu inilah merupakan waktu  yang tepat untuk merangsang otak dengan rangsangan spesifik yang mudah diterima dan dipahami oleh otak. Dengan begitu diharapkan dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak. Jika perkembangan kognitifnya sudah bagus, tentunya akan menunjang perkembangan afeksi dan perkembangan psikomotor yang bagus juga.
Anak usia sekolah dasar memerlukan berbagai kegiatan untuk mengorganisasi informasi di dalam otak, apabila anak hanya diberi sedikit petunjuk, maka anak akan mengalami kesulitan untuk memahami apa yang telah anak lihat dan pelajari.[18] Anak usia sekolah dasar memerlukan kegiatan pembelajaran yang menarik di kelas. Sekolah berperan penting untuk menumbuhkan semua aspek perkembangan pada anak. Salah satu perkembangan yang dapat dioptimalkan yaitu aspek kognitif.
Perkembangan anak pada usia sekolah dasar tergolong sangat pesat, begitu juga dengan perkembangan memorinya. Abu Ahmadi menyebutkan bahwa “Jika dilihat dari faktor usia, ingatan paling tajam pada diri manusia adalah pada masa kanak-kanak, dan ini baik sekali untuk daya ingatan mekanis, yakni daya ingatan yang hanya untuk kesan-kesan pengindraan. Sesudah umur ini, kemampuan mencamkan dalam ingatan juga dapat dipertinggi, tetapi hanya untuk kesan-kesan yang mengandung pengertian (daya ingatan logis).”[19]
Dapat disimpulkan bahwa memori pada anak usia sekolah dasar mencapai tahapan memori paling kuat jika dibandingkan dengan usia-usia lainnya. Daya ingat anak pada usia ini bisa bertahan dalam waktu yang panjang. Sebagai orang tua maupun guru, seharusnya berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada anak, karena informasi yang ditangkap anak akan diingat dalam waktu yang panjang. Jika orang tua atau guru salah memberikan informasi, ditakutkan anak akan berpedoman pada informasi yang salah tersebut hingga ia dewasa.
Pemilihan strategi pembelajaran oleh guru sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan prestasi belajar siswa, karena jika guru kurang tepat dalam mengaplikasikan strategi pembelajaran dikhawatirkan siswa menjadi bosan terhadap pelajaran dan tentunya akan mengganggu konsentrasi dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai seorang guru seharusnya bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran namun juga harus dipikirkan bagaimana upaya yang dilakukan agar materi yang dibahas sampai ke memori anak dalam jangka waktu yang lama bahkan selamanya. Rose & Nicholl  menyatakan bahwa belajar dengan melibatkan beberapa indera dan emosi positif itu sangat penting yang berpengaruh pada memori menjadi bersifat menetap, tergantung pada bagaimana kekuatan informasi dimasukkan pertama kali ke otak.[20]
Upaya peningkatan daya ingat anak memerlukan adanya kesadaran dari para guru untuk mengubah cara penyampaian materi pembelajaran, dari yang tidak bervariasi menjadi yang menarik minat serta perhatian anak didik. Guru perlu menggali potensi diri untuk meragamkan kegiatan pembelajaran demi meningkatkan kemampuan kognitif anak.
Strategi Empty Outline dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengasah ketajaman pola pikir anak. Selain itu, sistem kerja Empty Outline yang melibatkan kedua belah otak akan lebih memudahkan pemahaman peserta didik sehingga ingatan tentang suatu pelajaran dapat melekat kuat di dalam memorinya. Hal tersebut akan menguntungkan bagi pelajaran yang mengandung unsur nilai, karena dengan ingatan akan suatu nilai yang mendalam maka, tentu akan lebih mudah untuk memahami, menghayati, dan mengaplikasikan nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan penerapan strategi ini diharapkan siswa lebih aktif dan serius dalam mengikuti pelajaran sehingga hasil belajarnya akan meningkat dan anak lebih bisa memahami materi pelajaran.
Langkah-langkah dalam strategi Empty Outline adalah:[21]
a.    Pilihlah bacaan sesuai dengan topik pembahasan yang telah ditentukan,
b.    Siapkan format tabel yang akan ditugaskan kepada siswa untuk mengisinya,
c.    Bagikan bacaan kepada masing-masing siswa, kemudian tugaskan mereka untuk membacanya dengan seksama,
d.   Mintalah siswa untuk mengisi tabel yang telah dipersiapkan,
e.    Mintalah siswa untuk bergabung dua-dua(dengan teman disebelahnya) kemudian mendiskusikan hasil kerja mereka,
f.     Mintalah masing-masing siswa untuk memprsentasikan hasil pekerjaan mereka setelah diskusi,
g.    Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja siswa agar tidak terjadi kesalahan.
Dengan adanya baris-baris kosong, diharapkan siswa mampu memaksimalkan daya ingatnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anni Rohmahwati, dengan menggunakan penelitian tindakan kelas dengan dua siklus, menyatakan bahwa dengan penggunaan strategi Empty Outline sudah berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Yakni dengan cara guru mempersiapkan beberapa format tabel atau baris-baris kosong yang berkaitan dengan mata pelajaran Fiqih mengenai rukun Islam dapat membantu siswa lebih termotivasi untuk belajar. Kemudian diteruskan dengan refleksi mampu membuat siswa menjadi aktif, kreatif, dan semangat dalam mengikuti proses belajar, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas I MI Muhammadiyah Beji Tulung Klaten Tahun Pelajaran 2013/2014 pada mata pelajaran Fiqih dengan pokok bahasan memahami rukun Islam.[22]
Pendapat tersebut terpapar jelas dengan adanya bukti bahwa pada kondisi awal pra siklus nilai ulangan harian, siswa mendapat nilai tertinggi 75 dan nilai terendah 30, dengan rata-rata kelas hanya 55 dan ketuntasan belajarnya hanya 32,15% pada akhir siklus I nilai tertinggi naik menjadi 90 sedangkan nilai terendahnya adalah 40 dengan rata-rata kelas 67,14 dan ketuntasan belajar menjadi 53,57%. Sedangkan pada akhir siklus II mengalami perubahan yakni dengan nilai tertingginya menjadi 100, nilai tertndahnya 50, dengan rata-rata kelas 79,28, dan dengan ketuntasan belajarnya menjadi 85,71%.
Penulis juga mencoba membandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Etri Nilpida, yang juga menggunakan penelitian tindakan kelas. Etri menyatakan bahwa data awal dari 22 orang siswa hanya 4 orang yang mendapat nilai baik, yang memperoleh nilai cukup 3 orang dan mendapat nilai kurang berjumlah 15 orang. Pada siklus I terjadi peningkatan dari 22 orang siswa, 4 orang yang mendapat nilai sangat baik, 6 orang mendapat nilai baik, 9 orang mendapat nilai cukup dan mendapat nilai kurang 3 orang. Sedangkan pada siklus II juga terjadi peningkatan hasil belajar siswa dari seluruh jumlah siswa 6 orang siswa memperoleh nilai sangat baik, 13 orang siswa memperoleh nilai baik dan 3 orang mendapat nilai cukup. Dijelaskan pada data awal hasil belajar siswa berada pada kategori cukup dengan rata-rata 55% terjadi peningkatan dengan rata-rata 65%, selanjutnya pada siklus II juga terjadi peningkatan dengan rata-rata 75%.[23]
Dari dua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum guru menggunakan strategi Empty Outline hasil belajar siswa bisa dikatakan dibawah KKM. Namun, setelah guru melakukan perbaikan dalam proses mngajar yakni dengan menggunakan strategi Empty Outline, hasil belajar siswa menjadi di atas KKM artinya, tujuan dari pembelajaran telah tercapai dengan baik.

KESIMPULAN
Meningkatnya hasil belajar pada siklus II dibandingkan pada siklus I menunjukan bahwa perbaikan pembelajaran yang di terapkan dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Artinya, perencanaan pembelajaran yang dibuat sesuai untuk mengatasi permasalahan rendahnya hasil belajar siswa yang terjadi di dalam kelas dan menambah daya ingat anak selama ini. Meskipun daya ingat yang dimiliki anak satu dengan anak yang lain berbeda-beda, namun sebagian besar anak sudah mengalami peningkatan.
Empty Outline dapat membantu siswa dalam memahami dan juga menjadikan pelajaran lebih bermakna. Selain itu, siswa juga akan mudah dalam memahami serta mengingat materi-materi pelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Keberhasilan ini disebabkan dengan penerapan Strategi Empty Outline hasil belajar siswa menjadi lebih baik yang berarti siswa cenderung positif dalam mengikuti proses belajar mengajar yang diberikan guru maupun dalam melakukan diskusi di dalam dan antar kelompoknya. Dengan kondisi tersebut maka tingkat penerimaan dan pemahaman siswa akan meningkat.


[1]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1.
[2]Darmansyah, Strategi Pembelajaran menyenangkan dengan Humor, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 11.
[3]Hisyam Zaini, dkk., Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi,( Yogyakarta, CTSD: 2002), hlm. 130.
[4]Anni Rohmahwati, Upaya Meningkatkan Pemahaman Fiqih Mengenai Rukun Islam Melalui Metode Empty Outline Kelas I Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Beji, Skripsi, (Yogyakarta:2014), hlm. 7.
[5]Ibid., hlm. 8.
[6]Ibid., hlm. 9.
[7]Laura A. King, Psikologi Umum(sebuah Pandangan Apresiatif), (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 396.
[8]Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 73.
[9]Khrisna Pabhicara, Rahasia Melatih Daya Ingat, (Jakarta: Kayla Pustaka, 2010), hlm. 33.
[10]James Patrick Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi diterjemahkan oleh Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 295.
[11]Mahesh Kapadia, Daya Ingat (Bagaimana Mendapatkan yang Terbaik), (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), hlm. 5.
[12]Abu Ahmad & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 94.
[13]Mahesh Kapadia, Daya Ingat (Bagaimana Mendapatkan yang Terbaik), (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), hlm. 36.
[14] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi, 2004), hlm. 148.
[15]Shinta Ayu, Amazing Midbrain: Dahsyatnya Otak Tengah, (Yogyakarta: Araska, 2010), hlm. 11.
[16] Rahmani Astuti dkk., SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 39.
[17]Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik Anak Laki-laki, terjemah Syihabuddin, (Jakarta: Gema Islami, 2007), hlm. 249.
[18]Siti Aisyah dkk., Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Universitas Terbuka, 2009), hlm. 32.
[19] Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 74.
[20]Colin Rose & Nicholl, J. Malcolm, Accelerated Learning (For The 21st Century), Penerjemah: Dedy Ahimsa, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 72.
[21]Anni Rohmahwati, Upaya Meningkatkan Pemahaman Fiqih Mengenai Rukun Islam Melalui Metode Empty Outline Kelas I Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Beji, Skripsi, (Yogyakarta:2014), hlm. 10-11.
[22]Ibid., hlm. 56.
[23]Etri Nilpida, Penerapan Strategi Empty Outline Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Surat Al-Adiyat Mata Pelajaran Al-Qur’an Hadist Di Kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Negeri I Pekanbaru, Skripsi, (Pekanbaru:2011), hlm. 53.